Untuk mengetahui perkembangan kerajaan
bali dari sumber berupa berita cina yang mengatakan bahwa disebelah timur dari
kerajaan Hling terdapat Dwa-ta-pan. Menurut para ahli dwa-ta-pan adalah bali
b.
Sumber Sejarah Kerajaan Bali
c.
Keadaan pemerintahan
Menurut para ahli raja-raja bali
berasal dari keturunan wangsa warmadewa. Raja inilah yang dianggap sebagai raja
tertua di Bali yang kemudian menurunkan raja-raja di Bali seperti :
A.
Raja – raja Bali Kuno
2.
Ugrasena (fl. 915-942)
3.
Tabanendrawarmadewa (fl.
955-967)
4.
Indrajayasingha Warmadewa
(penguasa bersama, fl. 960)
5.
Janasadhu Warmadewa (fl.
975)
6.
Śri Wijaya Mahadewi (ratu,
fl. 983)
9.
Śri Ajñadewi (ratu, fl. 1016)
10.
Dharmawangsa Wardhana Marakatapangkaja
(fl. 1022-1025) [anak Dharma Udayana]
12.
Anak Wungsu (fl. 1049-1077) [saudara
Airlangga dan Marakata]
13.
Śri Maharaja Walaprabhu (antara
1079–1088)
14.
Śri Maharaja Sakalendukirana
Laksmidhara Wijayottunggadewi (ratu, fl. 1088-1101)
15.
Śri Suradhipa (fl. 1115-1119)
Wangsa Jaya
16.
Śri Jayaśakti (fl. 1133-1150)
17.
Ragajaya (fl. 1155)
19.
Arjayadengjayaketana (ratu, fl. 1200)
20.
Haji Ekajayalancana (penguasa bersama
fl. 1200) [son]
21.
Bhatara Guru Śri Adikuntiketana (fl.
1204)
22.
Adidewalancana (fl. 1260)
23.
Seorang ratu (?-1284)
24.
Rajapatih Makakasar Kebo Parud (wakil
Singasari, fl. 1296-1300)
25.
Mahaguru Dharmottungga Warmadewa
(sebelum 1324-1328)
26.
Walajayakertaningrat (1328-?) [anak
Dharmottungga]
27.
Śri Astasura Ratna Bumi Banten (fl.
1332-1337)
B.
Raja
– raja Bali Pasca 1343
37.
Dewa Cawu (1651-c.
1655, wafat 1673; posisi tidak jelas) [paman, anak Dalem Sagening dari
penawing]
40.
Dewa Agung Jambe I (1686-c. 1722)
[anak atau kerabat Dalem Di Made]
41.
Dewa Agung Gede (c. 1722-1736) [anak
Dewa Agung Jambe]
42.
Dewa Agung Made (1736-c. 1760) [anak
Dewa Agung Gede]
43.
Dewa Agung Śakti (c. 1760-1790;
digulingkan, wafat c. 1814) [anak Dewa Agung Made]
44.
Dewa Agung Putra I Kusamba (c.
1790-1809) [anak Dewa Agung Śakti]
45.
Gusti Ayu Karang (wali raja,
1809-1814) [janda Dewa Agung Putra I]
46.
Dewa Agung Putra II (1814–1850;
Susuhunan Bali dan Lombok sampai
1849) [anak Dewa Agung Putra I]
47.
Dewa Agung Istri Kanya (ratu,
1814–1850, wafat 1868) [saudari Dewa Agung Putra II]
48.
Di bawah
perlindungan Belanda 1843-1908
49.
Dewa Agung Putra III Bhatara Dalem
(1851–1903) [cucu Dewa Agung Sakti]
50.
Dewa Agung Jambe II (1903–1908;
Susuhunan Klungkung sampai 1904) [anak Dewa Agung Putra III]
51.
Di bawah
pemerintahan langsung Belanda 1908-1929
52.
Dewa Agung Oka Geg (1929–1950, wafat
1964) [kemenakan Dewa Agung Jambe II]
53.
Klungkung
bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 1950
C.
Raja
– raja Mengwi
55.
Gusti Agung Made Alangkajeng (1722-c.
1740) [anak Gusti Agung Anom]
56.
Gusti Agung Putu Mayun (1740s)
[kemenakan Gusti Agung Made Alangkajeng]
57.
Gusti Agung Made Munggu
(1740s-1770/80) [saudara Gusti Agung Putu Mayun]
58.
Gusti Agung Putu Agung
(1770/80-1793/94) [anak Gusti Agung Made Munggu]
59.
Gusti Ayu Oka Kaba-Kaba (regent
1770/80-1807) [ibu Gusti Agung Putu Agung]
60.
Gusti Agung Ngurah Made Agung I
(1807–1823) [anak Gusti Agung Putu Agung]
61.
Gusti Agung Ngurah Made Agung II Putra
(1829–1836) [anak Gusti Agung Ngurah Made Agung I]
62.
Gusti Agung Ketut Besakih
(1836-1850/55) [saudara Gusti Agung Ngurah Made Agung II]
Di
bawah perlindungan Belanda 1843-1891
63.
Gusti Ayu Istri Biang Agung
(1836–1857) [janda Gusti Agung Ngurah Made Agung Putra]
64.
Gusti Agung Ngurah Made Agung III
(1859–1891) [keturunan Gusti Agung Putu Mayun]
Mengwi
dihancurkan oleh Klungkung, Badung, Gianyar dan Tabanan 1891
D.
Raja
– raja Tabanan
E.
Raja
– raja Karangasem
F.
Raja
– raja Jembrana
G.
Raja
– raja Buleleng
H.
Raja
– raja Gianyar
I.
Raja
– raja Sukawati dan Ubud
J.
Raja
– raja Pamecutan di Badung
K.
Raja
– raja Kesiman di Badung
L.
Raja
– raja Denpasar di Badung
M. Raja – raja di Bangli
d.
Keadaan social ekonomi
Masyarakat di bali hidup bercocok tanam
dan berdagang. Mereka punya kebiasaan apabila orang meninggal mayatnya dihiasi
dengan emas dan diberi wangi-wangian lalu dibakar.
e.
Agama
Agama yang berkembang di bali sebagian
besar adalah hindu waisanawa maupun hindu siwa serta sebagian masyarakat
ada yang memeluk agama budha. Agama hindu di bali berkembang pesat sehingga
bali dijuluki museum hidup.
3. Awal masuknya Agama Hindu di
Bali
Perkembangan agama
Hindu dimulai sejak abad ke-8 oleh pendeta-pendeta Hindu diantaranya :
·
Mpu Markandeya
Beliaulah yang memimpin ekspedisi pertama ke pulau Bali sebagai penyebar agama
Hindu dengan membawa pengikut sebanyak ± 400 orang. Ekspedisi pertama ini
mengalami kegagalan.
Setelah persiapan
matang ekspedisi kedua dilaksanakan dengan pengikut ± 2.000 orang dan akhirnya
ekspedisi ini sukses dengan gemilang. Adapun hutan yang pertama dibuka adalah
Taro di wilayah Payangan Gianyar dan beliau mendirikan sebuah pura tempat
pemujaan di desa Taro. Pura ini diberi nama Pura Murwa yang berarti permulaan.
Dari daerah ini beliau mengembangkan wilayah menuju pangkal gunung Agung di
wilayah Besakih sekarang, dan menemukan mata air yang diberi nama Sindhya.
Begitulah permulaan pemujaan Pura Besakih yang mula- mula disebut Pura Basuki.
·
Mpu Kuturan,
beliaulah yang berperan menyebarkan ajaran agama hindu di Bali dengan
mengembangkan konsepsi Trri Murti yaitu pemujaan kehadapan tiga perwujudan Sang
Hyang Widhi (Brahma, Wisnu, Ciwa)
·
Danghyang Nirartha
atau Pedanda Sakti Wawu Rauh datang di zaman Dalem Watu Renggong (1460 - 1550)
datanglah ke Bali dalam tahun 1489 lalu diangkat menjadi Bagawantha kerajaan.
Danghyang Nirartha
adalah putra dari Danghyang Semara Natha yang bersama-sama pindah dari
Majapahit ke Daha, karena Majapahit telah jatuh ke tangan Islam dalam tahun
1474. Islam kemudian juga merambat ke Kediri dan oleh karena itu Danghyang
Nirartha pergi bersama kedua putra putrinya yang masih kecil, yaitu Ida
Suwabawa (wanita) dan Ida Kulwan (laki) ke Pasuruan. Beliau menyeberang ke Bali
dan turun di pelabuhan Purancak.
Keberadaan agama Hindu di Bali merupakan kelanjutan Perkembangan Agama
Hindu di Jawa. Masuknya Agama Hindu di Bali bersamaan dengan masuknya Agama
Buddha. Agama Hindu dan Buddha setelah berada di Bali luluh menjadi satu dan
disebut dengan Ciwa Buddha.
Disekitar zaman pra-sejarah sebelum masuknya Agama Hindu dan Buddha masuk
ke Bali, masyarakat Bali, masyarakat Bali telah mengenal system pemujaan dan
kepercayaan seperti:
a.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci.Gunung
dipandang sebagai tempat bersembahyang roh nenek moyang yang telah disucikan.
b.
Sistem penguburan mempergunakan sarkopagos dan setiap
orang yang meninggal dikubur dengan kepala menuju gunung serta kakinya menuju
laut.
c.
Kepercayaan adanya alam sekala dan niskala.
d.
Kepercayaan akan adanya penjelmaan (punarbawa) yaitu
menitis kembalike alam nyata ini.
e.
Kepercayaan bahwa roh nenek moyang yang bersangkutan
dapat memberikan perlindungan, petunjuk dan tuntunan kerohanian terhadap
generasinya (Pratisentana)
Perkembangan Agama Hindu di Bali dapat dilihat dari bukti-bukti peninggalan
sejarah seperti
bangunan kuno, Prasasti, dan dapat berupa kesusastraan.
Pustaka Makandya Purana menyatakan bahwa, untuk pertama kalinya ajaran
agama hindu di
bali disebarkan oleh rsi markandeya. Beliau dating ke bali diperkirakan pada
abad 4-5 masehi melalui gunung semeru menuju gunung agung, dengan tujuan
membangun asrama. Kedatangan beliau untuk pertama kali diikuti oleh 400 orang
pengiring, diceritakan bahwa ekspedisi tersebut kurang berhasil. Kedatangan
beliau untuk kedua kalinya diikuti oleh 2000 orang pengiring, dan diceritakan
telah berhasil menanam pancadatu di kaki gunung agung.
Selanjutnya, beliau berkehendak merabas hutan ungtuk dijadikan sawah dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan pengiringnya. Hutan tersebut diberi nama Desa
Sarwada yang sekarang disebut desa Taro.
Setelah beliau menetap di Bali, sistem kepercayaan dan pemujaan masyarakat bali
secara berangsur-angsur mulai ditingkatkan, seperti:
1.
Masyarakat Bali diajarkan untuk melakukan pemujaan
terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waca. Untuk melakukan pemujaannya dipakai sarana
berupa Api, Air dan Bunga yang disebut alat-alat bebali. Selanjutnya, hendaknya
segala sesuatu yang dilaksanakan hendaknya didahului dengan persembahan bebali
kehadapan Sang Hyang Widhi. Ajaran tersebut kemudian disebut Agama Bali.
2.
Dikenalnya nama daerah Bali yang berarti daerah yang
segala sesuatunya mempergunakan sarana Bebali.
3.
Pura Besakih mulai
dibangun dan difungsikan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi. Setelah Pura
Besakih dibangun pula tempat suciyang lainnya seperti Pura Andakasa, Pura
Lempuyang, Pura Sukawana, Pura Watukaru, dll.
4.
Warna merah dan putih mulai dipergunakan sebagai
ider-ider atau umbul-umbul. Kedua warna tersebut melambangkan kesucian yang
bersumber dari warna Surya dan Bulan.
Usaha pelestarian ajaran Agama Hindu di Bali dilanjutkan oleh Mpu Sang
Kulputih. Mpu Sang
Kulputih adalah pemongmong Pura Besakih. Beliau juga berperan dalam
meningkatkan kualitas agama hindu di bali, seperti:
1.
Mengajarkan tentang bebali dalam bentuk seni yang
mengandung makna kias dan suci.
2.
Mengajarkan orang-orang bali aga (yang mendiami
pegunungan) menjadi orang suci untuk pura kahyangan.nuntuk menjadi diri suci
diajarkan pula tentang tata cara melakukan brata, tapa, yoga, dan semadhi.
3.
Mpu Sang Kulputih juga mengajarkan kepada masyarakat
untuk melaksanakan hari-hari suci seperti Galungan dan Kuningan.
4.
Mengajarkan membuat arca lingga dari kayu, logam atau
uang kepeng.
Pada tahun 944-948
caka atau 1022-1026 Masehi datanglah Mpu Kuturan ke
Bali. Mpu Kuturan
berasal daari Jawa Timur, beliau membangun asrama atau pertapaan di Pura
Silayukti di Teluk Padang di pantai selatan Karangasem. Setelah beliau dating
ke Bali, masyarakat bali diajarkannya Silakrama, Pengetahuan tentang dunia
besar dan dunia kecil, wali-wali Manjadma, Mpu Kuturan juga mengajar tentang
ajaran Kusuma Dewa, Widhi Sastra, Sangkara Yuga dan tatacara membangun
kahyangan-kahyangan atau palinggih-palinggih.
Pada Tahun 1470-1550 masehi datanglah Ganghyang Nirartha ke Bali melalui
Brangbangan (Banyuwangi) mengarungi segara Rupek (selat Bali) dan mendarat di
Desa Pulaki kemudian menuju ke Desa Gading Wangi, Desa Mundeh, Desa Mengwi,
Desa Kapal, Desa Tuban, Desa Buagan dan sampailahh di desa Mas. Dalam perjalanannya
beliau sempat menjadi puruhita di Puri Gelgel. Semasa di puri gelgel, beliau
menyampaikan banyak ajaran, seperti:
1.
Ilmu Pemerintahan
2.
Ilmu Peperangan (Dharmayuddha)
3.
Ajaran pertemuan asmara laki dan perempuan (smara
gama/Cumbwara karma)
4.
Ajaran tentang pelaksanaan mamukur/maligia.
Setelah lama
menjadi Puruhita, beliau mengadakan perjalanan mengelilingi Bali.
Perkembangan
Agama Hindu di Bali
Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Bali dimulai dengan kedatangan orang – orang Majapahit di Bali. Akan tetapi sebenarnya jauh berabad – abad sebelum zaman Majapahit di Bali selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan Hindu, mungkin pada tahap pertama zaman Mataram kuno ( antara th. 600 dan 1000 ). Pusat kerajaan itu terdapat di Pejeng dan Bedulu dengan raja – raja keturunan ini timbul langsung karena pengaruh para pedagang Hindu, tetapi ada juga kemungkinan kerajaan ini disebabkan karena pengaruh Mataram.[11]
Dari uraian sejarah bahwa pengaruh Majapahit kuat sekali di Bali. Bahasa dan kebudayaan Bali adalah kelanjutan bahasa dan kebudayaan Jawa Timur. Kepustakaan Hindu Jawa dipelihara ,dibaca dan diteruskan. Itulah sebabnya maka Bali menjadi penyimpan kekayaan kebudayaan Jawa.Apa yang sudah tak dapat diketahui lagi tentang zaman Hindu di Jawa dapat diketahui di Bali.
Sekalipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Bali adalah daerah Hindu, sebab selain Hindu jawa masih ada religi lain yang tidak kalah kuatnya, maka lama – kelamaan agama Hindu Jawa bercampur dengan religi Bali yang asli. Secara garis besar dapat dikatakan, bahwa kaum bangsawan berkeyakinan Hindu Jawa yang dicampuri unsur – unsur religi Bali asli, sedangkan rakyat berkeyakinan religi Bali asli yang dicampuri dengan agama Hindu Jawa. Agama campuran ini tidak memiliki nama. Orang Bali sendiri menyebutnya Agama Tirta, baru sekarang agama orang Bali disebut Hindu Dharma.
Kira – kira 1000 tahun sesudah kedatangan agama Hindu yang pertama kali di Bali datanglah pengaruh Barat dengan perantaraan penjajah Belanda. Sesudah agama Hindu Bali mendapat tempat di kementrian agama dibentuklah suatu dewan agama Hindu Bali, yang sesudah konggres disebut Parisada Dharma Hindu Bali ( 1959 ) dan pada tahun 1964, diganti dengan Parisada Hindu Dharma.[12]
D. Hasil – Hasil Kebudayaan Di Jawa dan Bali
Banyak hasil – hasil kebudayaan yang bisa kita lihat sekarang ini yang ditemukan di Jawa Tengah maupun Jawa Timur menunjukan bahwa agama sangat besar peranannya dalam masyarakat. Para ahli berpendapat bahwa ada candi – candi yang didirikan oleh Kerajaan dan ada candi – candi yang didirikan untuk kepentingan masyarakat setempat.[13]
Candi – candi besar seperti candi Borobudur, Prambanan ,Plaosan, Kalasan dan sebagainya adalah candi kerajaan. Candi – candi tersebut berhubungan dengan keluarga raja, sedangkan candi – candi kecil yang banyak sekali di temukan berhubungan dengan orang – orang penting diluar kraton.Para ahli menduga bahwa banyak candi – candi yang berhubungan dengan sebuah desa atau sekelompok desa, seperti di Bali sekarang juga ada pura desa.
Dalam hasil kebudayaan dibidang seni, banyak relief instrument gamelan yang dipahatkan pada candi – candi di Jawa, baik candi – candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah ( abad ke 7 – ke 10 )maupun masa klasik Jawa Timur ( abad ke 11 – ke 15 . Seperti dalam candi Lara Jonggrang , relief yang menggambarkan instrument musik ada pagar langkan bidang dalam dan bidang luar candi Siwa.[14] Hasil Kebudayaan di Bali banyak kita jumpai saat ini seperti bentuk pura untuk upacara keagamaan dan adapt istiadat yang masih melekat pada tataran masyarakat di pulau Dewata Bali.
Sebenarnya masih banyak kebudayaan yang diwariskan sampai saat ini, namun karena keterbatasan tempat tidak saya sampaikan semunya.
Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Bali dimulai dengan kedatangan orang – orang Majapahit di Bali. Akan tetapi sebenarnya jauh berabad – abad sebelum zaman Majapahit di Bali selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan Hindu, mungkin pada tahap pertama zaman Mataram kuno ( antara th. 600 dan 1000 ). Pusat kerajaan itu terdapat di Pejeng dan Bedulu dengan raja – raja keturunan ini timbul langsung karena pengaruh para pedagang Hindu, tetapi ada juga kemungkinan kerajaan ini disebabkan karena pengaruh Mataram.[11]
Dari uraian sejarah bahwa pengaruh Majapahit kuat sekali di Bali. Bahasa dan kebudayaan Bali adalah kelanjutan bahasa dan kebudayaan Jawa Timur. Kepustakaan Hindu Jawa dipelihara ,dibaca dan diteruskan. Itulah sebabnya maka Bali menjadi penyimpan kekayaan kebudayaan Jawa.Apa yang sudah tak dapat diketahui lagi tentang zaman Hindu di Jawa dapat diketahui di Bali.
Sekalipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Bali adalah daerah Hindu, sebab selain Hindu jawa masih ada religi lain yang tidak kalah kuatnya, maka lama – kelamaan agama Hindu Jawa bercampur dengan religi Bali yang asli. Secara garis besar dapat dikatakan, bahwa kaum bangsawan berkeyakinan Hindu Jawa yang dicampuri unsur – unsur religi Bali asli, sedangkan rakyat berkeyakinan religi Bali asli yang dicampuri dengan agama Hindu Jawa. Agama campuran ini tidak memiliki nama. Orang Bali sendiri menyebutnya Agama Tirta, baru sekarang agama orang Bali disebut Hindu Dharma.
Kira – kira 1000 tahun sesudah kedatangan agama Hindu yang pertama kali di Bali datanglah pengaruh Barat dengan perantaraan penjajah Belanda. Sesudah agama Hindu Bali mendapat tempat di kementrian agama dibentuklah suatu dewan agama Hindu Bali, yang sesudah konggres disebut Parisada Dharma Hindu Bali ( 1959 ) dan pada tahun 1964, diganti dengan Parisada Hindu Dharma.[12]
D. Hasil – Hasil Kebudayaan Di Jawa dan Bali
Banyak hasil – hasil kebudayaan yang bisa kita lihat sekarang ini yang ditemukan di Jawa Tengah maupun Jawa Timur menunjukan bahwa agama sangat besar peranannya dalam masyarakat. Para ahli berpendapat bahwa ada candi – candi yang didirikan oleh Kerajaan dan ada candi – candi yang didirikan untuk kepentingan masyarakat setempat.[13]
Candi – candi besar seperti candi Borobudur, Prambanan ,Plaosan, Kalasan dan sebagainya adalah candi kerajaan. Candi – candi tersebut berhubungan dengan keluarga raja, sedangkan candi – candi kecil yang banyak sekali di temukan berhubungan dengan orang – orang penting diluar kraton.Para ahli menduga bahwa banyak candi – candi yang berhubungan dengan sebuah desa atau sekelompok desa, seperti di Bali sekarang juga ada pura desa.
Dalam hasil kebudayaan dibidang seni, banyak relief instrument gamelan yang dipahatkan pada candi – candi di Jawa, baik candi – candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah ( abad ke 7 – ke 10 )maupun masa klasik Jawa Timur ( abad ke 11 – ke 15 . Seperti dalam candi Lara Jonggrang , relief yang menggambarkan instrument musik ada pagar langkan bidang dalam dan bidang luar candi Siwa.[14] Hasil Kebudayaan di Bali banyak kita jumpai saat ini seperti bentuk pura untuk upacara keagamaan dan adapt istiadat yang masih melekat pada tataran masyarakat di pulau Dewata Bali.
Sebenarnya masih banyak kebudayaan yang diwariskan sampai saat ini, namun karena keterbatasan tempat tidak saya sampaikan semunya.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
AGAMA HINDU DI BALI
Di
Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa
Tangah dan Jawa Timur.Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad
ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang
didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya
diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal
dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada
baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......”
yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu
kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad
ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali.
Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah
berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu.
Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya
melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu (sekta Siva
Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali
adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu,
Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari
candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong
berasal dari periode seni arca Hindu Bali.Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Di samping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian .Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana.Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar.Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali.Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng.Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara.Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.
Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati I Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali.Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. Saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang dominan, di samping diakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai agama Hindu atau agama Hindu Dharma, unsur-unsur ketiga sekta tersebut masih dapat diamati.
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Februari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 November tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali , yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.
0 komentar:
Posting Komentar