Aku terkejut menatap jam dinding yang terpampang di
dinding sebelah kanan kamarku. “Apa?! Udah jam empat?!” pekikku
Dengan segera aku pastikan lagi dengan arloji yang melekat ditangan kiriku. hasilnya sama. masih tidak percaya, Aku cek lagi dengan jam di ponselku, tertera angka 04.02 disana. Meski aku bersikeras berharap “tidak” tapi tetap saja tidak masuk akal kalau ketiga jam itu error. Akhirnya aku percaya.
Dengan segera aku pastikan lagi dengan arloji yang melekat ditangan kiriku. hasilnya sama. masih tidak percaya, Aku cek lagi dengan jam di ponselku, tertera angka 04.02 disana. Meski aku bersikeras berharap “tidak” tapi tetap saja tidak masuk akal kalau ketiga jam itu error. Akhirnya aku percaya.
Aku bangkit dari kanvas di kamarku,menuju kamar mandi
dan keluar dalam keadaan segar. Ya, sudah tidak pegal. Setelah itu aku kembali
lagi.
Masih dengan niat mengoles kuas di atas lembaran kanvas itu. Tapi senyumku mengembang begitu memperhatikannya.Tak terasa lukisan itu pun selesai. Puas. Aku pandang ulang lukisan yang menggambarkan pemandangan sebuah tempat terindah yang bernama “Pulau Derawan” dengan wanita imajinasiku yang mengenakan sepasang sepatu mewah. Wah! Benar-benar menarik. Sangat sulit memang, karena aku harus bermain dengan banyak warna. Tapi menurutku, aku berhasil.
Masih dengan niat mengoles kuas di atas lembaran kanvas itu. Tapi senyumku mengembang begitu memperhatikannya.Tak terasa lukisan itu pun selesai. Puas. Aku pandang ulang lukisan yang menggambarkan pemandangan sebuah tempat terindah yang bernama “Pulau Derawan” dengan wanita imajinasiku yang mengenakan sepasang sepatu mewah. Wah! Benar-benar menarik. Sangat sulit memang, karena aku harus bermain dengan banyak warna. Tapi menurutku, aku berhasil.
Memang setimpal, pikirku. Sudah hampir 6 jam aku
terhanyut didalamnya. Tanpa menghiraukan panggilan dari luar kamar. Untungnya
mereka tidak memaksaku bangkit dari sudut ternyaman ini.Langsung saja, aku
berlari kecil menuju teras. Tempat biasa ibuku bersantai dengan secangkir kopi
setiap sore. “Bu! Lihat deh. Tadi Redo buat ini dikamar. Seharian lho bu.
Periksa ya?” pintaku. Ibu berpaling dari majalah yang sedang dibacanya, lalu
mengambil lembar yang kusodorkan. Ibu memperjatikan dengan seksama, tidak ada
reaksi kagum di raut wajahnya yang cantik itu. Pikiranku jadi tak tentu arah,
berharap ibu akan berkata “Bagus bangettt do”. Tapi ternyata...
“Haduh, Do. Kamu ini gimana sih! Warna yang kamu padukan lebih kelihatan jorok. Kotor Do” kata Ibuku dengan sangat enteng.
Terkejut untuk kedua kalinya di hari minggu ini. Tapi aku tidak mau menampakkan wajah sedih. Aku tidak suka dikasihani orang! termasuk Ibu.
“Haduh, Do. Kamu ini gimana sih! Warna yang kamu padukan lebih kelihatan jorok. Kotor Do” kata Ibuku dengan sangat enteng.
Terkejut untuk kedua kalinya di hari minggu ini. Tapi aku tidak mau menampakkan wajah sedih. Aku tidak suka dikasihani orang! termasuk Ibu.
Aku kembali ke kamar dengan wajah lesu. Bagaimana tidak?! seharian Aku
duduk di sudut kamar mengerjakan sesuatu yang dikatakan “lumayan” saja tidak! Huft!
Aku juga menolak saat kak Tiara meneriakkan namaku untuk makan malam.
Benar-benar tidak selera! Padahal aku belum memasukkan makanan sedikitpun ke
dalam perut sejak aku mulai melukis. Sebenarnya, apa yang keluar dari mulut Ibu
tadi sore bukan untuk pertama kali. Tapi hari ini semua itu cukup mengejutkan.
Malam pekat mulai menghiasi langit. Setelah belajar, Aku
berbaring di atas ranjang. Kali ini aku menangis hingga membasahi bantal. Aneh!
Aku tidak setegar biasanya. Tapi biarlah air mataku ini keluar. Karena aku tahu
setelah itu perasaanku mulai tenang dan lega. Tapi tanpa sadar aku mulai
terlelap dalam mimpi!. Keesokan paginya, aku bangun pagi-pagi sekali. Karena
hari ini akan ada pelajaran kesukaanku. Tentu saja seni lukis! Bahkan hari ini
adalah prakteknya! Ya semangatku mulai terpacu kembali. Segera saja setelah
semua siap, aku berangkat ke sekolah.
Pagi yang cerah dengan sinar matahari terik yang
menemani para siswa siswi SMPN 1
Surakarta.45 menit berlalu,upacara pun selesai. Pak handoko, guru mapel
favoritku masuk dengan senyum yang mulai mengobarkan pikiranku. Kedua tanganku
ini rasanya ingin menggertak-gertak meja. Tak sabar untuk melukis. “Keluarkan
kanvas kalian. Mulailah dengan sangat cermat. Akan ada hadiah untuk yang
terbaik” kata Pak Handoko. Kalimat terakhirnya membuat seisi kelas gaduh.
Begitu juga denganku. Dengan optimis, Aku mulai saja dengan warna pertama.
Masih ada keinginan untuk membawa hadiah itu ke hadapan ibu sebagai bukti
lukisanku bagus kali ini! dan aku benar-benar percaya.
Neng Nong Neng...
Bel berbunyi, aku juga sudah menyelesaikannya dengan
baik dan puas. “Waktu habis!. Ketua, Kumpulkan hasilnya dan bawa ke meja bapak
di Kantor. Akan bapak umumkan pemenangnya segera sepulang sekolah” katanya
lagi. Waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Bukan cuma aku yang berdebar-debar. Tapi
semua temanku. “Redo Algista ”. Hah?! ! Aku dipanggil ke depan dengan wajah
yang benar-benar gembira!. Saat diserahkannya Hadiah itu, Teman-temanku
bersorak dan bertepuk tangan. Serasa menang tingkat Internasional saja.
Kemudian setelah semua diperbolehkan bubar. Aku
berlari kencang menuju Rumah dengan sekotak Hadiah tadi ditanganku. Sambil membayangkan
pujian apa yang akan dilontarkan Ibu nanti. Tapi sesampainya. Ibu malah tidak
sedang di Rumah. huft! Sia-sia saja aku berlari tadi. Aku langsung menuju kamarku
yang hari ini sedikit berbau seperti aroma karbol (mungkin karena tadi pagi di
bersihkan oleh ibu). Lalu aku berganti pakaian dan berbaring sambil memandang
ke setiap sudut. Tiba-tiba saja aku teringat lukisan-lukisanku dan ingin
mengumpulkan semuanya. Lalu aku mencarinya, lembar- demi lembar di setiap laci
lemari. Sudah ada hampir 50 lembar lebih ditanganku.
Tapi kemana lukisanku yang bergambar Wanita
yang mengenakan sepasang sepatu mewah dan Pulau Derawan?! Padahal menurutku,
kedua lukisan itulah yang paling bagus diantara yang lain. Aku terus mencarinya sampai semua sudut. Tapi
tidak juga kudapatkan. Dibawah tempat tidur, dilaci meja, di tas jinjing.
Semuanya tidak ada! Wajahku mulai panik.
“Kenapa yang bagus sih yang ilang! Yang jelek malah ada” sentakku. Aku kesal sekali. Rasanya ingin memecah tangisan. Apalagi kalau membayangkan kalau melukisnya tidak mudah! Ikh... rasanya geram sekali.
“Kenapa yang bagus sih yang ilang! Yang jelek malah ada” sentakku. Aku kesal sekali. Rasanya ingin memecah tangisan. Apalagi kalau membayangkan kalau melukisnya tidak mudah! Ikh... rasanya geram sekali.
Kemudian aku duduk di sisi jendela yang mencondong
keluar. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Ternyata ibu. Ibu lalu mendekatiku dan
duduk di pinggir ranjangku. “Ibu kemana aja sih?!” tanyaku masih agak kesal
“Abis main ke rumah Tante Wiwik. Kamu kenapa? lagi kesel ya, mulutnya monyong gitu” tanya Ibu sambil bergurau. “Iya aku kesel! Abisnya, Lukisan aku yang bagus banget malah ilang” jawabku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. O iya hadiah itu. Aku turun dari jendela dan mengambil sebuah Kotak yang dibungkus kertas kado bewarna merah. dan duduk kembali di jendela itu.
“Bu! Kata Pak Handoko lukisan yang terbaik, yang layak dapetin ini. tapi sayangnya, lukisan itu gak aku bawa pulang. Soalnya diminta buat dipajang di Mading” kataku girang sambil memberikan kotak itu pada Ibu “Wah! Hebat putra Ibu”. Senang sekali, akhirnya mendengar kata “Hebat” dari Ibu. “Iya, tapi aku masih kesal. Kenapa dua lukisan terbaik aku hilang. Aneh deh”. “Kamu yakin udah nyari kemana-mana?”. “Yakin Bu, Yakin banget”
“Oh kalau gitu. Yang ini bukan?” tanya ibu sambil membuka halaman dimajalah yang dari tadi digenggamnya. Hah?! Lukisanku terpampang penuh di salah satu lembarnya. “Atau yang ini?” kata Ibu lagi sambil menunjukkannya padaku dari majalah yang berbeda.
“Abis main ke rumah Tante Wiwik. Kamu kenapa? lagi kesel ya, mulutnya monyong gitu” tanya Ibu sambil bergurau. “Iya aku kesel! Abisnya, Lukisan aku yang bagus banget malah ilang” jawabku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. O iya hadiah itu. Aku turun dari jendela dan mengambil sebuah Kotak yang dibungkus kertas kado bewarna merah. dan duduk kembali di jendela itu.
“Bu! Kata Pak Handoko lukisan yang terbaik, yang layak dapetin ini. tapi sayangnya, lukisan itu gak aku bawa pulang. Soalnya diminta buat dipajang di Mading” kataku girang sambil memberikan kotak itu pada Ibu “Wah! Hebat putra Ibu”. Senang sekali, akhirnya mendengar kata “Hebat” dari Ibu. “Iya, tapi aku masih kesal. Kenapa dua lukisan terbaik aku hilang. Aneh deh”. “Kamu yakin udah nyari kemana-mana?”. “Yakin Bu, Yakin banget”
“Oh kalau gitu. Yang ini bukan?” tanya ibu sambil membuka halaman dimajalah yang dari tadi digenggamnya. Hah?! Lukisanku terpampang penuh di salah satu lembarnya. “Atau yang ini?” kata Ibu lagi sambil menunjukkannya padaku dari majalah yang berbeda.
Aku mengambilnya dan menatap dengan mata penuh rasa
kaget “Hah?! Jadi memang Ibu yang mengambilnya... ya ampun!” kataku “Sekarang
aku bisa kan membuktikan kalau sebenarnya Lukisan ku bagus!”
“Kenapa sekarang?, memang semua lembaran yang kamu lukis bagus kok” puji Ibu, wajahku berubah menjadi bingung. “Terus kenapa selama ini Ibu bilang jelek lah, Kotor lah, kurang ini lah kurang itu lah. Kenapa Bu?” tanyaku. Mimikku semakin penasaran. “Kamu mau tahu alasannya?” Tanya Ibu balik, Aku mengangguk cepat. “kamu tahu sebuah karya kan. Enggak semua karya akan selalu dipuji orang. Pasti selalu ada kritikan, saran dan bahkan makian. Ibu mau kamu juga terbiasa dengan semua itu. jadi bukan sekedar pujian saja” Aku tertegun mendengar ucapan Ibu. Berarti selama ini niatnya baik. “Dan ibu melihat ketegarannya di sikapmu. Kamu terus berkarya dan membuat kritikan itu menjadi salah satu penyemangat. Dan sekaranglah, Ibu baru mau mengutarakan tujuan kesinisan Ibu akan lukisanmu selama ini” tambah Ibu. “Hmm... kalau begitu, Aku benar kan? Haha” kataku memuji diri. “Sekarang coba buka, apa yang ada dibalik kotak itu?” perintah Ibu lembut. Aku mulai merobeknya, dan membuka tutup kotak itu. Hah? Kudapati kuas dan berbagai warna cat cair.
“YES!” seruku
“Oiya, ada satu lagi. Ini amplop untukmu, dari produser majalah” kata Ibu, dia menyodorkan amplop putih yang ternyata berisi uang. Senangnya, aku berniat akan membeli Kanvas baru!
“Kenapa sekarang?, memang semua lembaran yang kamu lukis bagus kok” puji Ibu, wajahku berubah menjadi bingung. “Terus kenapa selama ini Ibu bilang jelek lah, Kotor lah, kurang ini lah kurang itu lah. Kenapa Bu?” tanyaku. Mimikku semakin penasaran. “Kamu mau tahu alasannya?” Tanya Ibu balik, Aku mengangguk cepat. “kamu tahu sebuah karya kan. Enggak semua karya akan selalu dipuji orang. Pasti selalu ada kritikan, saran dan bahkan makian. Ibu mau kamu juga terbiasa dengan semua itu. jadi bukan sekedar pujian saja” Aku tertegun mendengar ucapan Ibu. Berarti selama ini niatnya baik. “Dan ibu melihat ketegarannya di sikapmu. Kamu terus berkarya dan membuat kritikan itu menjadi salah satu penyemangat. Dan sekaranglah, Ibu baru mau mengutarakan tujuan kesinisan Ibu akan lukisanmu selama ini” tambah Ibu. “Hmm... kalau begitu, Aku benar kan? Haha” kataku memuji diri. “Sekarang coba buka, apa yang ada dibalik kotak itu?” perintah Ibu lembut. Aku mulai merobeknya, dan membuka tutup kotak itu. Hah? Kudapati kuas dan berbagai warna cat cair.
“YES!” seruku
“Oiya, ada satu lagi. Ini amplop untukmu, dari produser majalah” kata Ibu, dia menyodorkan amplop putih yang ternyata berisi uang. Senangnya, aku berniat akan membeli Kanvas baru!
0 komentar:
Posting Komentar